“Menjual” Kota dengan City Branding

Bandung Kota Kembang, Aceh Serambi Mekah dan Yogya Kota Pelajar. Semboyan dan slogan seperti itu sepertinya sudah sejak kecil kita mendengarnya. Sepertinya sudah cocok saja nama kota disandingkan dengan kata tersebut.

Namun apakah kita pernah bertanya, mencari, dari mana asalnya sebutan, semboyan, slogan tersebut?

Dan apakah slogan tersebut masih relevan dengan kondisi yang ada sekarang? Apakah kota Bandung masih banyak dihiasi dengan bunga? Apakah Jogja juga masih ramai dihijrahi manusia yang berlomba menuntut ilmu?

Konsep Branding

Konsep branding merupakan upaya untuk memberikan identitas pada satu entitas (orang, perusahaan, lembaga, daerah dll) dengan desain atau simbol tertentu untuk mengiklankan produk dan jasanya.

Misalkan produk minuman botol yang dikenal sebagai minuman pendamping segala jenis makanan (Apapun Makanannya, Minumnya …). Atau produk tembakau yang biasa diidentikkan dengan gaya hidup petualang, aktif, dan kreatif. Bahkan kadang-kadang digambarkan dekat dengan aktivitas olahraga, yang justru atlet dari olahraga tersebut kecil kemungkinannya untuk mengkonsumsi produk tembakau.

Terbukti branding benar-benar bisa mengoneksikan nilai-nilai yang jauh berkebalikan di dunia nyata, dan audiens pun merasa baik-baik saja dengan hal itu.

City Branding: The Wrong Way and The Right Way

Kalau dengan produk tembakau saja konsep branding bisa berhasil, apalagi jika diterapkan pada entitas kota atau wilayah.

Mengidentifikasikan kota dengan slogan tertentu sebenarnya sudah jamak dilakukan oleh pemerintah daerah di Indonesia. Namun, implementasi slogan ini masih terbatas pada sekedar akronim yang bagus diucapkan saja. Yang penting kepanjangannya masih memuat sifat-sifat positif dari kota tersebut.

Misalkan Kota Beriman, Kota Bersahaja, Kota Berbinar, Kota Bercahaya dan sekian puluh nama lagi yang berawalan “ber” yang biasanya merupakan akronim dari kata “bersih”.

Yang menjadi kekurangan dari slogan-slogan tersebut adalah hal konkrit yang bisa diidentifikasikan dengan akronim tersebut. Jika beriman, siapa yang beriman? Jika bersahaja, apa yang bersahaja?

Apakah Kota Bercahaya dan Kota Berbinar punya ratusan ribu lampu yang menerangi kota sepanjang malam? Apakah Kota Bersahaja semua penduduknya hidup sederhana dan tidak berlebih-lebihan?

Sebuah kota tidak jauh berbeda dengan merek barang dan jasa yang umum dipasarkan. Identitas sebuah kota harus langsung dikenali oleh konsumennya.

Harus ada hal konkrit yang bisa dikaitkan dengan suatu kota ketika nama kota itu disebut. Lebih baik lagi jika hal tersebut adalah sesuatu yang bisa dijual.

Misalkan branding Kota Apel, Kota Udang, Kota Pengrajin, Kota Mebel, Kota Pendidikan. Identitas tersebut lebih mudah untuk dicerna oleh konsumen untuk mengidentifikasi keunggulan dari sebuah kota. Orang bisa lebih mudah menentukan ke mana jika ingin mencari wisata alam buah-buahan yang bagus atau mencari sentra produsen furnitur yang mumpuni.

Pemerintah dan masyarakat kota setempat juga lebih mudah dalam menentukan langkah-langkah membangun city branding mereka. Ketika menggunakan branding Kota Mebel, maka otomatis fokus pembangunan menjadi lebih konkrit dan terarah, yaitu:

  • menyiapkan infrastruktur bahan baku kayu yang cukup dan berkualitas,
  • memfasilitasi pengrajin mebel untuk berpromosi lewat pameran-pameran,
  • memberi pelatihan-pelatihan dalam memproduksi furnitur berkualitas.

Bayangkan jika pemerintah mengambil branding Kota Beriman, langkah-langkah konkrit apa saja yang harus dilakukan?

Kesuksesan City Branding Kota Ambon Sebagai Kota Musik Dunia

Ambon UNESCO City of Music sejak 2019

Salah satu contoh implementasi city branding yang berhasil adalah Ambon Kota Musik yang telah diakui oleh UNESCO sebagai salah satu Kota Kreatif Dunia.

Slogan Kota Musik bukan tanpa alasan. Kota Ambon telah memenuhi berbagai persyaratan sebelum ditetapkan sebagai Kota Musik Dunia. Infrastruktur pendukung yang berhubungan dengan musik seperti gedung pertunjukan seni, studio rekaman, dan sekolah musik telah banyak dibangun dan dibina untuk menjadikan musik sebagai pilar pembangunan masyarakat yang berkelanjutan.

Dalam kehidupan sehari-hari pun, kota Ambon selalu diwarnai dengan kegiatan bermusik di setiap pojok kotanya.

Sebagai icon Kota Musik, dibangun Air Mancur Menari di Taman Pattimura yang bisa menari mengikuti irama musik yang diputar.

City Branding Kabupaten Bantul

Bantul UNESCO City of Crafts and Folk Arts 2023? Bisa!

Yang menjadi pertanyaan sekaligus harapan besar kita semua adalah, akankah Bantul berhasil mengimplementasikan konsep city branding dalam pembangunan kotanya?

Dengan penuh intonasi positif, tentu kita akan menjawab “Ya. Bantul pasti bisa!”

Secara ekosistem dan infrastruktur Bantul punya banyak sekali modal untuk mewujudkan city branding sebagai Kota Kerajinan dan Seni Rakyat. Adanya sentra-sentra kerajinan kriya kreatif, lembaga pendidikan berorientasi kesenian, pertunjukan kesenian rakyat yang sudah berlangsung ratusan tahun, serta desa-desa wisata yang mengedepankan keunggulan kreatif daerahnya adalah modal yang lebih dari cukup untuk meraih predikat City of Crafts and Folk Arts.

Seperti benang-benang sutra yang masih berdiri sendiri, seluruh elemen masyarakat bersama pemerintah, akademisi dan media bisa bersama-sama menenunnya tersebut menjadi satu kain batik sutra yang indah.