Dalam tradisi yang berlangsung setiap tahun, Desa Selopamioro Imogiri Bantul menghidupkan khazanah budayanya melalui rangkaian upacara yang dikenal sebagai Jodhangan. Tradisi yang tak hanya menjadi perayaan berkelimpahan hasil bumi, tetapi juga sebuah penghormatan kepada warisan agung Walisanga.
Setiap tahun, pada hari Minggu Pahing di bulan Besar menurut kalender Jawa atau Islam, masyarakat Desa Selopamioro dengan tulus menggelar Jodhangan untuk mengenang kesejahteraan dan keberkahan yang dianugerahkan oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Jejak Sejarah dan Makna Simbolis
Sejarah Jodhangan merentang hingga ke akar-akar Dusun Srunggo, kala itu sebuah tradisi merti dhusun yang menggambarkan upacara bersyukur atas hasil panen. Tetapi, dengan perlahan, masyarakat dan pemerintah setempat mengubahnya menjadi Jodhangan, menambahkan dimensi baru pada makna dan pesan di balik tradisi tersebut. Konon, masyarakat Dusun Srunggo percaya bahwa dengan mengadakan Jodhangan, mereka bukan hanya mengungkapkan rasa syukur kepada Sang Pencipta, tetapi juga memohon berkah dan keselamatan untuk masa yang akan datang.
Sekitar Gua Cerme yang dianggap suci oleh masyarakat setempat, Jodhangan mengambil tempat. Tempat suci ini juga dikenal sebagai rumah spiritual para Walisanga yang meninggalkan jejak kuat dalam sejarah lokal. Konon, sebuah mitos menceritakan tentang Baginda Raja Harnaya Rendra yang memohon bantuan spiritual dari Resi Hadidari ketika rakyatnya dilanda penyakit dan kelaparan. Dengan bimbingan Resi, masyarakat mulai melaksanakan upacara bersih desa dan merti dhusun sebagai ungkapan syukur. Oleh masyarakat, tempat ini dianggap sebagai tempat suci yang merangkul tiga aspek penting: agama, budaya, dan pariwisata.
Tarian Budaya dan Simbolisme Makna
Di tengah riuh rendah kegiatan Jodhangan, seni dan budaya tampil dalam bentul tarian campursari dan jathilan serta pentas wayang kulit. Jodhang, kendaraan khusus untuk membawa hasil bumi, menjadi simbol perayaan. Dua belas orang yang membentuk empat tim di setiap sudut jodhang, mengangkatnya dengan hati penuh syukur. Di dalamnya, beraneka ragam hasil bumi seperti jagung, pare, terong, dan lain-lain ditempatkan dengan indahnya. Semuanya menggambarkan keragaman rezeki dari Sang Pencipta.
Nilai-Nilai Mendalam
Tradisi Jodhangan tidak hanya sekadar perayaan, tetapi juga sebuah panggung di mana nilai-nilai keagamaan, gotong royong, kesetiakawanan, musyawarah, dan pengendalian sosial tercermin dengan indahnya.
Melalui ritual tahlilan dan doa bersama, warga Desa Selopamioro menunjukkan rasa spiritualitas dan keterhubungan dengan Tuhan. Selain itu, kegiatan gotong royong menjadi nyata saat warga membersihkan makam, jalan dusun, dan lokasi upacara secara bersama-sama. Semangat ini juga mendorong rasa kesetiakawanan yang kuat, di mana semua lapisan masyarakat, tanpa pandang bulu, berpartisipasi dalam pembuatan gunungan dan ubarampe sesaji. Tak kalah penting, tradisi ini dipertahankan melalui musyawarah, di mana para sesepuh dan pemuka masyarakat membicarakan detail pelaksanaan.
Selain itu, Jodhangan juga memainkan peran dalam pengendalian sosial. Melalui upacara ini, masyarakat menjaga hubungan harmonis dengan leluhur dan penguasa, sambil memperkuat ikatan dengan adat istiadat mereka. Tradisi ini menjunjung tinggi warisan lokal dan merawatnya dengan penuh dedikasi.
Ruang Waktu yang Tetap, Makna yang Berubah
Walaupun setiap tahunnya mengulang pola yang sama, Jodhangan tidak pernah kehilangan pesonanya. Di dalamnya terkandung harapan, syukur, dan semangat kebersamaan. Dengan Jodhangan, Desa Selopamioro bukan hanya merayakan hasil panen, tetapi juga mengukir kisah tentang kesatuan, keyakinan, dan menghormati warisan leluhur.