Mengunjungi Sentra Kerajinan Kriya Bantul, Kawasan Kreatif yang Mendunia

Sebagai pusat industri kreatif, Bantul punya beberapa sentra kerajinan yang sangat dikenal oleh wisatawan. Mulai dari kulit, batik, hingga keris semua siap menyambut wisatawan demi buah tangan yang menawan.

Sentra Kerajinan Kulit, Manding

Desa Manding dikenal sebagai salah satu sentra kerajinan kulit terbesar. Desa ini sudah aktif memproduksi kriya berbahan kulit sejak tahun 1947.

Beberapa produk yang dihasilkan adalah sepatu, tas, dompet, dengan kualitas yang internasional. Seperti kerajinan kulit umumnya, produk Desa Manding dibuat dari bahan kulit nabati yang dihasilkan lewat teknik tatah timbul.

Tatah timbul kulit adalah teknik mengolah kulit yang tersamak sehingga muncul efek timbul dari permukaan kriya kulit yang dibuat.

Ukiran tatah timbul inilah yang menjadi ciri khas. Jika tidak ada, maka bisa dipastikan itu bukan produksi Manding.

Keunikan lainnya adalah yang proses jahitan yang menggunakan tangan. Ini membuat bentuknya berbeda dengan lainnya.

Asal mula desa Manding memproduksi kerajinan kulit berawal dari seorang warga bernama Ratno dan beberapa temannya yang melancong ke Museum Kereta Kencana di Yogyakarta.

Di sana mereka melihat para pengrajin membuat pelana kuda dan tempat duduk dari kulit. Mereka minta izin untuk ikut belajar membuat kriya seperti itu.

Berbekal dari mengumpul mengumpulkan kulit bekas, Ratno mengajak warga desanya untuk memproduksi beberapa produk kulit seperti ikat pinggang dan tas di awal-awal usahanya.

Hasil produksi kerajinannya kemudian dijual di Pasar Ngasem yang menjadi awal perkenalan para pembeli dengan indahnya kerajinan tangan warga Desa Manding.

Sentra Kerajinan Gerabah, Kasongan

Cerita yang banyak beredar tentang Desa Kasongan adalah tentang kuda dan Belanda. Pada masa penjajahan, di area persawahan milik salah satu warga ditemukan seekor kuda yang mati. Diduga kuda tersebut adalah milik seorang reserse Belanda.

Sang pemilik ketakutan, sampai sampai ia langsung pergi dan melepaskan kepemilikan tanah tersebut. Hal ini juga diikuti oleh penduduk lain yang memiliki sawah di sekitarnya.

Begitu banyak tanah yang ditinggalkan hingga datang penduduk dari tempat lain yang kemudian mengakui hak atas tanah tersebut. Para pendatang mulai memanfaatkan sumber alam yang ada di sekitarnya yaitu tanah liat.

Pada awalnya kerajinan gerabah tanah liat yang mereka produksi hanya untuk mainan anak anak dan perabot dapur saja.

Lama kelamaan unsur artistik ditambahkan dan mengalami perkembangan hingga menjadi komoditas artistik yang memiliki nilai jual tinggi.

Sejak dekade 70-an, Desa Wisata Kasongan mengalami kemajuan cukup pesat. Sapto Hudoyo, seorang seniman besar Yogyakarta, turut membantu mengembangkan Desa Wisata Kasongan dengan membina masyarakatnya untuk memberikan berbagai sentuhan seni dan komersial bagi desain kerajinan gerabah.

Kini, gerabah yang dihasilkan tidak menimbulkan kesan yang membosankan dan monoton, tetapi dapat memberikan nilai seni dan nilai ekonomi yang tinggi. Keramik Kasongan dikomersialkan dalam skala besar oleh Sahid Keramik sekitar tahun 1980-an.

Sentra Kerajinan Daun Pandan, Soropadan

Pedukuhan Soropadan dikenal sebagai sentra kerajinan anyaman daun pandan. Walaupun masa pandemi covid melanda, produksi anyaman di sana masih bergeliat menggerakkan roda perekonomian.

Kualitas produk anyaman daun pandan ini tidak kalah dengan kualitas ekspor dan sesuai dengan tuntutan zaman, yakni produk yang ramah lingkungan.

Produk anyaman ini menggunakan material daun pandan yang sangat ramah lingkungan dan dikerjakan secara tradisional.

Para pengrajin anyaman di desa Soropadan mayoritas sudah berusia lanjut. Adapun warga yang masih berusia muda enggan untuk melanjutkan usaha menganyam pandan. Sebabnya, harga jual kerajinan tikar pandan yang dihargai murah. Untuk satu bulan proses menganyam tikar, hanya dihargai sebanyak Rp50.000 di pasar Beringharjo.

Mengantisipasi masalah ini maka warga yang peduli melakukan inovasi salah satu melalui kerjasama dengan seniman. Menambahkan lukisan di atas media kerajinan anyaman daun pandan mampu meningkatkan nilainya secara signifikan.

Hingga kini pengrajin desa Soropadan sudah sedikit yang membuat tikar anyaman dan mulai beralih membuat tas, topi dan sebagainya.

Sentra Kerajinan Wayang Kulit, Pucung

Selama hampir 100 tahun Desa Pucung terkenal sebagai desa wayang kulit. Desa ini sudah resmi dinobatkan sebagai Sentra Kerajinan Wayang Kulit oleh pemerintah Kabupaten Bantul.

Desa wisata Pucung terletak di Kalurahan Wukirsari, hanya berjarak 2 km dari Makam Raja-Raja Imogiri. Selain keahlian penduduknya membuat wayang kulit, keindahan alamnya yang asri dengan suasana pedesaan juga menjadi daya tarik tersendiri.

Sejarah Pucung menjadi kampung pengrajin wayang kulit berawal dari mbah Atmo Karyo yang menjadi Lurah Dusun Pucung pada tahun 1917. Pada masa itu menjadi seorang Lurah harus mendapatkan pelatihan dari Panewu (Camat) yang memiliki hubungan langsung dengan keraton Jogja. Pelatihan mbah Atmo langsung dibina oleh Sultan Hamengkubuwono VII. Maka secara tidak langsung, mbah Atmo pun menĀ­jadi abdi dalem Keraton.

Mbah Atmo alias Mbah Glemboh kemudian diberi tugas Sultan untuk merawat dan menjaga wayang keraton. Saat itulah ia tertarik untuk membuat wayang kulit sendiri. Bersama dengan empat orang tetangganya: Mbah Reso Mbulu, Mbah Cermo, Mbah Karyo, dan Mbah Sumo, mbah Glemboh mulai belajar menatah wayang.

Mbah Glemboh awalnya hendak memperlihatkan hasil karyanya kepada Sultan. Namun di tengah perjalanan, BeĀ­landa melihat hasil karya tersebut lalu membeli semuanya. Tambahan pula, pemilik salah satu toko batik terkenal yang kebetulan melihat, membawa wayang itu, kemudian membeli dan memajang wayang Mbah Glemboh di toko batiknya.

Dari sinilah wayang kulit mbah Glemboh semakin dikenal dan laris dibeli orang. Hingga kini, anak keturunan mbah Glemboh beserta segenap warga desa Pucung aktif memproduksi tatah sungging wayang.

Sentra Kerajinan Keris, Banyusumurup

Keris merupakan salah satu warisan kebudayaan Indonesia yang diakui oleh UNESCO. Keris tidak bisa dianggap sebagai kerajinan biasa, karena pembuatnya harus memiliki keahlian khusus dan masih tergolong keturunan kerajaan.

Dusun Banyusumurup, Girirejo, Imogiri, lebih banyak dikenal orang sebagai Kampung Keris. Cikal bakal kerajinan keris di sini telah ada sejak ratusan tahun lalu. Jika ditanya tokohnya, maka sudah pasti nama mbah Sosro Manggolo disebut sebagai pelopor kerajinan keris Banyusumurup. Ayahnya sendiri, mbah Mangu, adalah orang yang ahli membuat warangka atau sarung keris.

Salah satu anak mbah Sosro Menggolo yang tekun melanjutkan seni pembuatan keris adalah mbah Djiwo Diharjo. Jika ditarik garis keturunan, ia adalah keturunan ke-19 empu Supondriyo dari kerajaan Majapahit.

Dahulu keris biasa berfungsi sebagai pusaka atau benda magis untuk urusan tertentu. Kini, keris juga dimaknai sebagai sebuah benda seni.

Perkembangan seni pembuatan keris saat ini memungkinkan orang yang bukan keturunan empu juga bisa membuatnya. Masyarakat biasa bisa membuat keris dan asesorisnya, terutama yang dipergunakan untuk hiasan rumah dan pengantin.

Di Dusun Banyusumurup, keris yang diproduksi tidak hanya bilahnya saja tetapi juga bagian warangka dan pendok. Bagi para penggemar keris, Dusun Banyusumurup adalah tempat yang sangat menarik untuk dikunjungi. Ada banyak ilmu dan pengalaman yang bisa didapatkan dengan bertemu para pembuat keris secara langsung.

Sentra Kerajinan Batik, Giriloyo

Giriloyo adalah dusun yang berada di bawah kaki Perbukitan Imogiri, dekat dengan situs Makam Raja-Raja. Suasananya yang asri di kaki Bukit membawa rasa nyaman dan damai ketika mengunjunginya.

Secara tekstual tidak tertulis kapan pastinya kerajinan batik masuk ke Giriloyo. Merujuk kepada sejarah, kemungkinan sekitar abad ke 17 ketika sebagian besar penduduk menjadi abdi dalem keraton Yogyakarta yang bertugas menjaga dan merawat makam raja-raja.

Beberapa kerabat keraton kemudian memberi pekerjaan kepada masyarakat Giriloyo khususnya ibuibu sebagai buruh nyanthing batik. Dari situlah kemudian kampung Giriloyo selalu memproduksi batik setengah jadi yang kemudian dijual ke juragan-juragan batik di pusat kota Yogyakarta.

Adanya bencana gempa bumi tahun 2006 membuat kegiatan membatik di Giriloyo lumpuh. Atas bantuan LSM, masyarakat memiliki semangat untuk kembali bangkit dan membangun kembali kampung batik.

Dari sini kampung Giriloyo bisa berkembang jauh lebih baik daripada sebelumnya. Kini ibu-ibu tidak hanya menjadi buruh nyanthing batik yang menjual bahan setengah jadi. Lewat banyak pelatihan, mereka bisa meningkatkan kemampuan untuk memproduksi batik jadi dan siap dijual. Ditambah lagi dengan ilmu pemasaran yang memadai, mampu meningkatkan taraf perekonomian hidup mereka.

Saat ini ada belasan kelompok batik tulis di Giriloyo dengan koleksi-koleksi batik yang anggun. Selain sering didatangi pengunjung yang ingin membeli batik, Sentra Batik Giriloyo juga kerap dipenuhi wisatawan yang ingin melihat proses pembuatan batik. Biasanya wisatawan ini berasal dari siswa sekolah, instansi, keluarga, hingga turis mancanegara. Mereka juga bisa belajar membatik secara langsung.

Sentra Kerajinan Batik Kayu, Krebet

Kalau batik biasa dikenal dengan teknik tulis dan cap pada media kain, beda halnya dengan kampung Krebet yang memproduksi kerajinan batik pada media kayu. Para pengrajin batik di Sendangsari, Pajangan, Bantul menggunakan media kayu untuk berkreasi sejak tahun 1970-an.

Karya-karya cantik bernilai tinggi Dusun Krebet banyak diminati oleh wisatawan domestik maupun mancanegara. Proses membatik dengan media kayu membutuhkan keterampilan yang berbeda dengan batik di atas media kain. Media kayu hanya bisa diolah dengan teknik manual, bukan cetak, sehingga pembuatanya tentu membutuhkan ketelitian yang tinggi.

Beberapa motif batik yang di produksi di Kampung Krebet antara lain parangrusak, parangbarong, Kawung, garuda, Sidomukti, dan Sidorahayu.

Awalnya produk yang dihasilkan para pengrajin di Desa Wisata Krebet sebatas topeng dan wayang. Namun, para pengrajin berinovasi dan mampu menghasilkan berbagai macam produk lainnya.

Berbagai produk kerajinan yang dihasilkan oleh warga Krebet adalah lemari, asesoris rumah tangga, patung kayu, kotak perhiasan, dan hiasan batik kayu lainnya. Soal harga mulai dari ribuan hingga jutaan rupiah.