Gendeng, sebuah tempat yang sejak zaman dahulu diakui sebagai surganya wayang kulit berkualitas terbaik. Di sini, ketrampilan puluhan pengrajin ulung tetap abadi, terutama dalam teknik pembuatan wayang kulit ala gaya Yogyakarta yang mempesona.
Riwayatnya, jejak wayang kulit di Gendeng sudah tertoreh sejak tahun 1929. Sejarah ini dirintis oleh bapak Walijo yang akrab disapa bapak Atmo Sukarto. Walaupun identitas sebenarnya adalah Atmo Sukarto, tetapi masyarakat lebih akrab memanggilnya Pak Pujo. Beliau tidak sekadar pengrajin wayang, melainkan juga dalang ulung, penari wayang wong, dan pengrawit yang mahir.
Hanya karena cinta mendalamnya pada kesenian wayang kulit, Pak Pujo mencetuskan sanggar kesenian yang menjadi bakal tempat bernaung bagi komunitas sekitar. Di sini, rahasia teknik meramu wayang kulit berkualitas tinggi diwariskan kepada para murid. Dari jejak ini, para generasi penerus Pak Pujo tumbuh berkembang, membentuk tempat produksi sendiri, dan akhirnya menciptakan lingkungan kerajinan bernama Sentra Kerajinan Wayang Kulit Gendeng.
Pada era pemerintahan Presiden Soeharto, para pegrajin wayang kian melambung, hidup layak dari karya mereka. Keuntungan yang didapat bahkan melampaui pendapatan guru pada masa itu. Momentum ini pun digerakkan oleh dukungan penuh pemerintah dan kecintaan Presiden Soeharto pada seni wayang kulit. Pengrajin dilibatkan dalam pameran dengan biaya yang ditanggung pemerintah. Soeharto, seorang penyuka wayang, memainkan peran penting dalam memopulerkan dan mengangkat pamor wayang kulit Gendeng.
Unsur Utama: Wayang Kulit Gaya Yogyakarta yang Teristimewa
Berkutat pada ranah seni, Sentra Kerajinan Tatah Sungging Gendeng tampil dengan andal dalam kreasi wayang kulit, lebih spesifiknya, gaya Yogyakarta. Sentuhan para pengrajin dari dusun Gendeng menghasilkan karya-karya yang menggebrak. Walau demikian, beberapa di antara mereka masih konsisten menciptakan wayang kulit berkualitas tinggi, sebagai bentuk perlawanan pada kenyataan bahwa kemampuan membedakan wayang berkualitas rendah dan tinggi kini hilang di tengah masyarakat.
Di sinilah menjamurnya wayang kategori suvenir yang ditawarkan dengan kualitas biasa hingga rendah. Terdapat contoh nyata di dalam sosok Barno Surya M.H., yang lebih condong pada wayang seni dengan mutu tinggi. Baginya, penggarapan wayang kulit bukan sekadar untung rugi finansial, melainkan juga tentang melestarikan kesenian, terutama di Gendeng. Wayang karyanya dijamin memiliki kualitas dan harga yang selaras.
Pemasaran dan Tantangan Era Modern
Jaya di masa lalu, pasar ekspor pun telah terbuka bagi wayang kulit Gendeng. Meski demikian, kini, kejayaan tersebut belum sepenuhnya terulang. Namun, permintaan terhadap karya Sentra Kerajinan Gendeng masih tumbuh. Kebanyakan dari pelanggan ini adalah kolektor seni, mereka yang begitu faham akan mutu wayang. Walaupun jumlah pembeli belum setinggi masa keemasan dulu, dedikasi kolektor mampu menopang eksistensi sentra ini.
Namun, kegiatan pameran telah melorot drastis dalam berbagai pengrajin wayang Gendeng, terutama pada pameran yang memberi peluang untuk mengungkap keunggulan produk. Ini menjadi kendala, karena tanpa pameran yang layak, karya-karya unggul akan tersembunyi dari pandangan publik.
Harga: Cerminan Kualitas Seni dan Pengrajin
Tak jarang, wayang dengan model dan ukuran serupa memiliki variasi harga. Karya seni tidak lagi bergantung pada parameter harga semata. Di Sentra Kerajinan Gendeng yang menghasilkan karya dengan kualitas tinggi, harga pun bervariasi sesuai standar pengrajin. Bahan baku dan sentuhan akhir merupakan faktor dominan yang membentuk harga.
Dalam contoh nyata, sebuah wayang berukuran 50 cm memiliki tiga tingkatan harga, masing-masing mencerminkan kualitas. Kualitas terendah dijual dengan kisaran 200-300 ribu rupiah, menarik bagi yang berbudget rendah. Sementara kualitas menengah, dibanderol 600-800 ribu rupiah, menjadi pilihan dalang yang belum mementingkan kualitas saat pertunjukan.
Kualitas terbaik dikenali melalui harganya yang melebihi 1 juta rupiah per unit. Kolektor dan pencinta seni menyambutnya dengan antusias. Wayang ini memang tak hanya sebuah benda seni, melainkan cerminan dedikasi para pengrajin dan keindahan budaya yang melekat padanya.